Rahma dan Kebijakan Otoriter yang Menindas dan Menyengsarakan PPPK Tanjungpinang

TANJUNGPINANG – Di bawah kepemimpinan Wali Kota Rahma, selama tiga tahun menjabat, nasib malang menimpa guru dan tenaga teknis PPPK di Pemko Tanjungpinang. Kebijakan pemotongan 50 persen TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai) yang diterapkan sejak Januari 2023 mencerminkan sikap otoriter dan zalim dari seorang pemimpin yang lebih peduli pada kekuasaan dan kepentingan pribadi ketimbang kesejahteraan rakyatnya.

Sejak rapat yang digelar pada 30 Maret 2023 di Aula Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, para guru PPPK angkatan 2022 dihadapkan dengan kenyataan pahit: penghasilan tambahan yang mereka harapkan untuk mencukupi kebutuhan hidup, dipotong paksa setengahnya.

Bacaan Lainnya

Dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Wali Kota Rahma, para guru angkatan 2022 dihadapkan dengan pilihan tak manusiawi: menerima TPP yang dipangkas drastis menjadi Rp 600 ribu atau Rp 1,3 juta per bulan, yang jauh dari angka yang diterima sebelumnya, yakni Rp 2,6 juta per bulan.

Rapat dihadiri sekitar 154 guru PPPK dari angkatan tahun 2022 itu. Ada juga sejumlah pejabat OPD yang hadir, yaitu Kepala sekitar BKPSDM Drs. Tamrin Dahlan, M.Si; Kepala BPKAD Djasman S.Sos; dan Kepala Dinas Pendidikan, Dra. Endang Susilawati.

Salah seorang guru PPPK, di Tanjungpinang, pada 10 November 2024, mengatakan merasa kecewa dengan pernyataan Wali Kota Rahma yang seharusnya melindungi hak-hak pegawai, namun nyatanya ia tak peduli dengan nasib warganya. Sumber yang juga hadir dalam rapat tersebut menyayangkan keputusan pemotongan itu, apalagi disampaikan dengan nada otoriter, bahkan mengancam akan menetapkan angka yang lebih rendah jika para guru tidak memilih salah satu opsi yang ada.

“Saya sudah kasih pilihan, kalau tidak ada yang setuju, saya yang tentukan sendiri,” katanya menirukan ucapan Rahma, saat rapat, yang minta namanya tidak dipublikasikan. Ia prihatin atas pernyataan Rahma, yang seolah-olah hak para guru untuk hidup layak sebagai hal biasa dipermainkan.

Rapat tersebut dihadiri sekitar 154 orang guru PPPK angkatan tahun 2023 itu. Rapat dipimpin langsung oleh Wali Kota Rahma, dan dihadiri sekitar 154 guru PPPK.

Informasi dari beberapa guru PPPK yang hadir langsung dalam rapat, sejumlah kepala organisasi perangkat daerah (OPD) juga turut hadir dalam pertemuan hari itu. Diantaranya Kepala BKPSDM Drs. Tamrin Dahlan, M.Si; Kepala BPKAD Djasman S.Sos; dan Kepala Dinas Pendidikan, Dra. Endang Susilawati.

Penolakan para guru terhadap kebijakan ini langsung dibungkam, dan mereka dipaksa untuk memilih salah satu dari dua opsi yang sangat merugikan mereka. Situasi ini menunjukkan bagaimana Rahma memanfaatkan posisinya untuk mengintervensi dan mengintimidasi mereka yang berada di bawah kekuasaannya, tanpa memberikan ruang untuk diskusi yang adil.

Ironisnya, kebijakan yang mendiskriminasi ini hanya berlaku untuk PPPK, sementara PNS, yang juga bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN), tidak dikenakan pemotongan TPP yang serupa. Hal ini semakin menunjukkan betapa tidak adilnya sikap Wali Kota Rahma, yang tampaknya hanya peduli pada kesejahteraan pejabat dan kroninya, sementara para guru dan tenaga teknis yang bekerja keras untuk mendidik anak bangsa justru disisihkan.

Kebijakan ini menunjukkan Rahma telah membuat kasta bagi ASN Pemko Tanjungoinang, yaitu “ASN istimewa” dan “ASN anak tiri’, yang menempatkan posisi PPPK sebagai ASN kelas dua.

Para guru dan tenaga teknis PPPK, yang gajinya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka hanya dianggap sebagai objek penghematan anggaran, meski alasan defisit anggaran yang dijadikan pembenaran terasa sangat dipaksakan.

Bahkan, saat Rahma mengungkapkan alasan keuangan daerah yang tidak mampu membayar TPP secara penuh, banyak pihak melihat ini sebagai upaya pencitraan belaka. Sebab, meski ada kekurangan anggaran, kebijakan pemotongan ini hanya berlaku untuk kalangan terbawah, bukan bagi pejabat yang sudah menikmati fasilitas dan penghasilan besar setiap bulannya.

Rasa kecewa semakin dalam dan sangat melukai hati PPPK, ketika mengingat sejarah kelam Wali Kota Rahma yang pernah tersandung kasus korupsi. Pada 2020 hingga 2021, Rahma diketahui menerima uang haram sebesar Rp 2,7 miliar dari brankas APBD Tanjungpinang, yang didapat dari anggaran TPP ASN.

Uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan ASN, justru dinikmati oleh Rahma, hingga akhirnya terungkap dan dipaksa untuk dikembalikan setelah dilaporkan ke Kejari Tanjungpinang. Ini menguatkan bukti bahwa Rahma adalah sosok pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan pribadinya, tanpa mempedulikan hak-hak rakyat yang semestinya ia lindungi.

Sebagai calon Wali Kota yang kembali maju dalam Pilkada Tanjungpinang, Rahma justru berusaha mencitrakan diri dengan berkomentar peduli terhadap nasib PPPK. Namun, tindakan nyata yang dilakukannya selama menjabat justru menunjukkan sebaliknya, lebih mengutamakan kepentingan pejabat dan diri sendiri ketimbang kesejahteraan pegawai rendahan yang butuh perhatian.

Harapan para guru dan tenaga teknis PPPK pun kini beralih pada pemimpin baru yang akan datang. Mereka menginginkan seorang pemimpin yang benar-benar peduli terhadap nasib mereka, yang bisa memperjuangkan kesejahteraan dan menghapus kebijakan diskriminatif yang selama ini merugikan mereka.

“Pemimpin yang peduli tidak akan membedakan antara PPPK dan PNS. Kami hanya ingin keadilan, bukan penindasan,” ujar mereka dengan penuh harapan.

Dengan tindakan semena-mena dan terus berulang, Wali Kota Rahma telah menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin otoriter yang mengabaikan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Ia lebih memilih untuk merampas hak-hak dasar rakyat kecil demi mempertahankan kekuasaannya dan memberi keuntungan bagi pejabat-pejabat yang mendukungnya.
Rahma hanya memikirkan kesejahteraan dirinya dan kroni-kroninya, bukan kesejahteraan rakyat banyak.

Para guru dan tenaga teknis PPPK kini terjebak dalam kesengsaraan, yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi keluarganya di tengah krisis ekonomi, sementara pemimpin malah menambah penderitaan rakyatnya melalui kebijakan yang tidak adil.

Apa yang dialami para ASN PPPK ini bukan hanya sekadar masalah pemotongan tunjangan, tetapi sebuah bentuk penindasan yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang tidak peduli terhadap nasib orang kecil. Keputusan ini bukan hanya merampas penghasilan mereka, tetapi juga sebagai bentuk penindasan kepada orang kecil demi kepentingan pribadi dan politik pencitraan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *